PERILAKU DAN
SIKAP ANTI KORUPSI
Disusun oleh :
1.
Cyntia Ayu. P
(133911061)
2.
Lina Indah Nurmalita (133911063)
3.
Anisatul Faiqoh
(133911066)
4. Elidah (133911060)
5.
Ulya Sufiyana
(133911067)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam
adalah agama yang benar. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk
meluruskan aqidah dan akhlak umat manusia. Islam mengajarkan kita bagaimana berprilaku
terpuji, baik dalam hidup bermasyarakat maupun dalam bernegara seperti yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan yang
baik yang patut dicontoh dan diikuti oleh umatnya.
Namun
pada kenyataannya di zaman sekarang ini banyak sekali kita melihat orang yang
beragama Islam tetapi prilakunya tidak mencerminkan seorang muslim. Contohnya
melakukan tindakan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang ada di
berbagai negara dan tempat terutama di indonesia, karena sebab dan akibatnya
sangat berbahaya bagi semua orang terlebih mereka orang-orang yang menjadi
korban-korbanya yang sengsara akibatnya.[1]
Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita
menangani permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang Islam. Karena, dalam
perspektif ajaran Islam korupsi merupakan perbuatan terkutuk, dampak buruk yang
ditimbulkannya bagi suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang korupsi dalam
penulisan makalah ini.
2.
Rumusan Masalah
A.
Apa pengertian korupsi ?
B.
Bagaimana kajian hadits mengenai penegakan hukum tanpa tebang pilih?
C.
Bagaimana kajian hadist
mengenai shodaqoh dengan uang korupsi?
D.
Bagaimana kajian hadist
tentang Nabi yang tidak mau mensholati jenazah koruptor?
E.
Bagaimana kajian hadist
tentang pelaku korupsi di laknat Allah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Korupsi
kata korupsi berasal
dari bahasa latin”corruptio”yang berarti perbuatan busuk, buruk, tidak
jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Sedangkan dalam bahasa inggris adalah “corruption”
yang berarti jahat, buruk, busuk, curang, suap. Dalam Kamus Bahasa Besar Bahasa
Indonesia, korup atau korupsi diartikan buruk, rusak, busuk, suka memakai
barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok, dan penyelewengan
atau penggelapan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ketika seseorang
yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk bertindak atas nama yang
mempercayakan melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak mengacu pada tujuan dan
kepentingan yang mempercayakan, maka orang itu telah melakukan penghianatan
amanat (korupsi).
Korupsi mempunyai
berbagai macam jenis sesuai dengan sudut pandangnya. Dilihat dari cara
mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan, korupsi dibagi menjadi korupsi
aktif dan korupsi pasif. Diantara korupsi aktif adalah pertama,
memberikan sesuatu (hadiah) atau janji kepada pejabat (pegawai negeri atau
penyelenggara Negara) dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban. Kedua, memberikan
atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Korupsi pasif berupa
penerimaan sesuatu dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan atau tidak
dilakukan yang bertentangan dengan kewajibannya. Di antaranya, pertama,
menerima sesuatu (hadiah atau janji) karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, hakim
yang menerima sesuatu (hadiah atau janji) untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya.
B.
Hadist Mengenai Hukum
Tanpa Tebang Pilih
Baca Juga
Dalam sebuah hadits yang disabdakan oleh
Rasulullah kepada Istrinya Aisyah R.a adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّه عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا
أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا
وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ
اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ
قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (رواه
البخاري
Artinya:
“Orang-orang
Quraisy sangat gelisah lantaran seorang perempuan Makhzumiyah melaakukan
pencurian. Seorang diantara mereka berkata: siapakah gerangan yang akan
berbicara dengan Rasulullah tentang hal perempuan ini. Teman-temannya menjawab:
Tidak ada yang berani berbicara dengan Rasulullah selain Usamah bin Zaid, yang
disayangi Rasulullah saw. Kemudian Usamah pun berbicara dengan Rasulullah
tentang hal perempuan itu. Maka Rasulullah berkata: Apakah engkau meminta
syafaat mengenai hukuman dari hukuman-hukuman Allah? Sesudah itu Nabi bangun
lalu berkhutbah dan berkata: Bahwasanya orang-orang yang sebelum kamu
dibinasakan oleh karena apabila orang-orang yang terpandang mencuri, mereka
tidak menjalankan hukuman terhadapnya. Dan apabila rakyat kecil mencuri mereka
dijatuhkan hukuman atasnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah bin Muhammad, mencuri
pastilah aku memotongtangannya.” (Al-Bukhary 60:54; Muslim 29:2; Al Lu’lu-u wal
MARJAN 2:214).[2]
Dari hadist diatas
dijelaskan, seorang perempuan golongan Bani Makhzum, yang bernama Fatimah binti
Al Aswad, mencuri sepotong perhiasan emas, kasus itu terjadi dalam peperangan
penaklukan Mekkah. Orang Quraisy ingin perbuatan itu dimaafkan.
Seorang diantara mereka, yaitu Mas’ud Ibn Al Aswad mengemukakan
pendapatnya, bahwa tidak ada seorang pun yang berani menemui Rasulullah untuk
mengampuni kesalahan Fatimah itu, selain Usamah Ibn Zaid, seorang sahabat yang
sangat disayangi Rasul. Mereka tahu, bahwa Rasulullah sangat tegas dank eras
dalam melaksanakan hukum Allah. Rasul dengan tegas menolak permohonan itu,
bahkan Nabi menjadikan Fatimah putrinya sebagai contoh, karena Fatimah orang
yang paling dicintai dan disayangi Nabi SAW. Diantara anggota keluarganya.[3]
Kata An Nawawy: “Muslim menyebut hadits ini
dalam bab larangan memberi syafa’at dalam urusan hukuman had. Para ulama
sependapat menetapkan, bahwa memberi syafa’at dalam urusan had, sesudah
kasusnya diajukan kepada yang berwajib, tidak dibenarkan.”
Adapun sebelum disampaikan kepada yang
berwajib, maka kebanyakan ulama membolehkannya, asal saja yang mendapat syafaat
itu bukan seorang yang sudah terkenal jahat. Mengenai kejahatan yang hanya
dikenakan takzir, kita boleh memberi syafaat kepadanya, baik telah samapai
kepada yang berwajib ataupun belum.
Ada ulama yang berpendapat, bahwa karena dalam
rangkaian larangan hadits ini terdapat perkataan “meminjam”, kemudian
mengingkarinya. Mengingkari ariyah itu hukumnya potong tangan. Sebenarnya
perkataan “meminjam” yang terdapat dalam salah satu lafal hadits ini
harus diatikan “mencuri” karena itulah yang banyak lafalnya.
Jumhur ulama tidak mewajibkan potong tangan
atas orang yang mengingkari ariyah, Ahmad dan Ishak mewajibkannya.
Kesimpulan dari Hadits ini menerangkan
keutamaan Usamah, sebagaimana menerangkan bahwa kita boleh bersumpah tanpa
diminta.
Hadits ini menyatakan, bahwa pencuri baik dia
dari orang rendahan ataupun terpandang, hukumnya sama, dan menyatakan pula,
bahwa syara’ tidak membenarkan kita memberi syafaat untuk membebaskan seseorang
dari hukuman had.[4]
C.
Hadist Mengenai
Shodaqoh Menggunakan Hasil Korupsi Sia-sia
Apapun yang diamalkan seseorang kepada saudara,
anak istri, ataupun kepada orang lain jika hasil yang diamalkannnya didapat
melalui perbuatan yang bertentangan dengan hukum syara maka akan sia-sia saja
perbuatannya dan tidak akan mendapat apa-apa. Sepertinya halnya pencuri yang
mencuri uang dan uang tersebut diamalkan untuk masjid atau madrasah atau pun
pada sanak saudaranya maka perbuatan yang dilakukan tersebut sia-sia saja dan
tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap amal ibadahnya dirinya. Adapun hadist yang menjelaskan mengenai shodaqoh menggunakan hasil
korupsi itu sia-sia adalah sebagai berikut :
Abu Hurairah
ra. Berkata:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ
تَمْرَةٍ مَنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَيَصَّعَّدُ اِلَى اللهِ اِلاَّ الطَّيِّبُ.
فَاِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا
لِصَاحِبِهَاكَمَايُرَبِّى اَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى يَكُوْنَ مِثْلَ
الْجَبَلِ.
Artinya:
“Rasulullah saw. Bersabda: Barangsiapa bersedekah seberat biji
kurma dari usaha yang baik dan
tidak naik kepada Allah selain yang baik, maka sesungguhnya Allah menyambutnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian
Allah memelihara sedekah itu untuk
pemiliknya, sebagaimana seorang kamu memelihara anak-anak kudanya sehingga menjadilah sedekah itu semisal gunung.”(Al
Bukhary 97: 23; Muslim 12: 19; Al Lu’lu-u wal Marjan 1: 237).[5]
Dalam
hadis lain Nabi Bersabda :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً
مِنْ غُلُولٍ (رواه ابن ماج)
Artinya:
“Dari
Anas bin Malik berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Allah Tidak
Menerima Sholat tanpa bersuci (sebelumnya) dan Dia tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi”. (H.R. Ibnu Majah).
Hadits ini adalah salah satu hadits yang
menjadi kaidah Islam dan dasar hukum. Salah satu dari 40 buah hadits yang telah
dikumpulkan oleh An Nawawy dalam kitab yang terkenal dengan nama Matan
Arba’in.
D. Hadist Tentang Nabi tidak bersedia Menshalati Jenazah Koruptor
Adapun hadis yang menyatakan bahwa nabi enggan
menshalati jenazah koruptorsebagai berikut:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ
حَبَّانَ أَنَّ زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ الْجُهَنِيَّ قَالَتُوُفِّيَ رَجُلٌ يَوْمَ
حُنَيْنٍ وَإِنَّهُمْ ذَكَرُوهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ
لِذَلِكَ فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ قَدْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِقَالَ فَفَتَحْنَا
مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزَاتٍ مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا تُسَاوِينَ
دِرْهَمَيْنِ (رواه مالك)
Artinya:
“Bahwa
suatu ketika Nabi memerintahkan agar para sahabat menshalatkan jenazah seroang
sahabat yang meninggal dalam perang Khaibar, namun Nabi tidak ikut
menshalatkannya. Para ahabat kemudian bertanya “mengapa nabi tidak ikut
menshalatkan jenazah tersebut?” Nabi besabda “Sesungguhnya sahabatmu ini telah
memakan korupsi dijalan Allah.” Setela sahabat memeriksa, ternyata ditemukan
sahabat yang meningal itu telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan
perang (ghonimah) senilai 2 dirham sebelum harta-harta ghonomah itu dibagi.”
(H.R.Malik).
Hadist yang menyatakan bahwa Nabi tidak
mensholatkan jenazah koruptor itu didukung oleh riwayat yang kuat. Bahwa suatu ketika Nabi memerintahkan agar para sahabat mensholatkan
jenazah seorang sahabat yang meninggal pada perang Khabair, namun Nabi tidak
ikut mensholatkannya. Para sahabat kemudian bertanya, mengapa Nabi tidak ikut
mensholatkan jenazah si Fulan? Nabi menjawab, sesungguhnya sahabat ini telah
melakukan korupsi dijalan Allah SWT. Setelah sahabat memeriksa ternyata telah
ditemukan sahabat yang meninggal tadi mengambil dan menyembunyikan harta
rampasan perang (ghonimah) senilai dua dirham sebelum harta-harta ghonimah itu
dibagi.[6]
E.
Hadist Tentang Pelaku
Korupsi Di Laknat Allah SWT.
Dalam sebuah Hadits Nabi mengatakan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ(رواه احمد)
“Dari Abu
Hurairah RA berkata : Rosulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap dalam hukum.” (HR. Ahmad).
Hadist diatas menjelaskan bahwa menyuap dalam
masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada
penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau agar mendapat hukuman
ringan. Perbuatan semacam itu
dilarang dalam Islam serta telah disepakati oleh para Ulama bahwa perbuatan itu
haram hukumnya. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam
harta yang diperoleh melalui jalan batil.[7]
Pelaku al risywah (suap) terdiri dari al-rasyi dan al-murtasyi. Ar-rasyi adalah orang
yang memberikan sesuatu (suap) untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan,
sedangkan ar-murtasyi adalah orang yang menerima suap. Perbuatan al-risywah
merupakan perbuatan pidana yang dilarang agama. Nabi Muhammad juga menegaskan
dengan melarang keras orang yang melakukan tindak pidana suap.
Menurut Al-Hasan,
Al-Sya’bi, Jabir ibn Zaid,”Atha”, tidak apa-apa (dibolehkan) bagi orang yang
memberikan sesuatu untuk mempertahankan dirinya dan hartanya apabila takut
dianiaya. Ada sebuah riwayat yang mengungkapkan bahwa Ibn Mas’ud dicegat
didaerah Saby, wilayah al-Habsyah, kemudian dia memberikan dua dinar
sehingga dia diperkenankan melanjutkan perjalanan. Kebolehan suap dalam kasus
seperti itu tentunya hanya berlaku bagi orang yang memberikan suap (ar-rasyi)
untuk mempertahankan haknya, sedangkan orang yang menerima suap (al-murtasyi)
tetap dianggap sebagai orang yang melakukan tindak pidana dan hukum haram.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam Kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia,
korup atau korupsi diartikan buruk, rusak,
busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya,
dapat disogok, dan penyelewengan atau penggelapan untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.
2.
Hadist tentang hukuman
tanpa tebang pilih menyatakan bahwa pencuri baik dia dari orang rendahan
ataupun terpandang, hukumnya sama, dan menyatakan pula, bahwa syara’ tidak
membenarkan kita memberi syafaat untuk membebaskan seseorang dari hukuman had.
3.
Hadist mengenai shodaqoh dengan uang hasil
korupsi menyatakan apapun yang diamalkan seseorang kepada saudara, anak istri,
ataupun kepada orang lain jika hasil yang diamalkannnya didapat melalui
perbuatan yang bertentangan dengan hukum syara maka akan sia-sia saja
perbuatannya dan tidak akan mendapat apa-apa.
4.
Nabi tidak mau
mensholati jenazah koruptor.
5.
Perbuatan suap-menyuap
itu dilarang dalam Islam serta telah disepakati oleh para Ulama bahwa perbuatan
itu haram hukumnya. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong
dalam harta yang diperoleh melalui jalan.
B.
Saran
Demikian
makalah sikap dan perilaku korupsi ini penulis buat dengan segala kekurangan
dan keterbatasan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fida’Abdul Rafi’,Abu. Terapi Penyakit
Korupsi. Jakarta: Penerbit Republika, 2004.
Madany, Malik. Politik Berpayung Fiqh,
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010.
Mas’udi, Masdar F, Fiqh Korupsi Amanah
Vs Kekuasaan, Mataram: Solidaritas
Masyarakat Transparansi NTB, 2003.
Malik , Imam, Muwatha’ Imam Malik, Saudi Arabia: Al-Maktabah Al-Syamilah, juz 3,
Hadist ke 269.
Razak, Dkk., Terjemah Hadist Shahih
Muslim Jilid II, Jakarta: Penerbit Pustaka
Al-Husna,
1980.
Razak, Dkk., Terjemah Hadist Shahih
Muslim Jilid III, Jakarta: Penerbit Pustaka
Al-Husna,
1980.
Syafe’I , H. Rachmat, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum,
Bandung: CV.
Pustaka
Setia, 2003.
Teungku, Muhammad Habsi Ash
Shiddieqy, Mutiara Hadist, Semarang: PT. Puataka
Qizki
Putra, 2007.
[2]
Razak, Dkk. Terjemah Hadist Shahih
Muslim Jilid III. (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna, 1980), hlm.-
[4]
Muhammad Habsi Ash Shiddieqy
Teungku, Mutiara Hadist, (Semarang: PT. Puataka Qizki Putra, 2007), hlm.
435-436
[5] Razak, Dkk. Terjemah
Hadist Shahih Muslim Jilid II. (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna, 1980),
hlm.-
[6]
Imam Malik, Muwatha’ Imam Malik, (Saudi Arabia:
Al-Maktabah Al-Syamilah, juz 3, Hadist ke 269), hlm. 346
[7]
H. Rachmat Syafe’I, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 151-152
[8] Masdar F. Mas’udi, Fiqh
Korupsi Amanah Vs Kekuasaan, (Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi
NTB, 2003)
