Baca Juga
Di antara puluhan buku maupun kumpulan
tulisan yang pernah ditulisnya, Belahan Jiwa adalah buku yang paling
memperlihatkan sisi romantis Rosihan Anwar. Buktinya, kata-kata seperti
"sayang", "cinta" dan "salam manis" untuk Zuraida
Sanawi, istrinya, bertebaran dalam buku ini.
Rosihan mengenal Ida, begitu panggilan
akrab Zuraida, ketika keduanya bekerja di surat kabar Asia Raja. Awalnya
hubungan mereka sebatas menyangkut pekerjaan. Tetapi garis tangan telah membawa
mereka pada hubungan cinta.
Menurut Rosihan, keseriusannya membina
hubungan dengan Ida tidak terlalu mulus. Pasalnya, ibu Ida mempertanyakan
kesiapan Ida menerima Rosihan yang kala itu bekerja "hanya" sebagai
wartawan.
Rosihan mahfum dengan pendapat calon
mertuanya itu. Ia yakin, kebimbangan itu bukan didasarkan pada ketidaksukaan
terhadap Rosihan, namun karena ia ingin Ida hidup bahagia. Ini wajar, sebab
secara finansial, profesi wartawan saat itu tidaklah menjanjikan.
Dalam sebuah suratnya Ida menegaskan
bahwa ia mau menerima Rosihan. Ia tahu benar konsekuensi-konsekuensi menjadi
istri wartawan. Namun, dalam pandangan Ida, Rosihan adalah wartawan yang
istimewa, itu alasannya ia mau menjadi istrinya.
Dalam buku ini memang dilampirkan
sejumlah surat yang menunjukkan bagaimana korespondensi Ida dengan Rosihan.
Kata-kata cinta yang sederhana plus cerita lain mengenai sahabat, kerabat dan
lingkungan kerja, adalah ciri-ciri surat yang ditulis mereka.
Menariknya, dalam buku ini Rosihan
tidak semata mengisahkan perjalanan cintanya, namun juga menuliskan sejumlah
peristiwa sejarah. Inilah yang agak sulit untuk dihindari oleh Rosihan yang
"berdarah" wartawan itu.
Dalam buku ini misalnya, Rosihan
menuliskan peristiwa di kediaman AH Nasution pada saat terjadi G30S tahun 1965.
Hal ini diceritakannya karena ia melihat sendiri kejadian tersebut secara “live”.
Untuk diketahui, kediaman Rosihan kala itu berada di depan rumah AH Nasution.
Baru keesokan harinya ia mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya telah
terjadi.
Buku ini disusun oleh Rosihan setelah
Ida tutup usia pada 5 September 2010. Dari buku ini terlihat bagaimana
terpukulnya Rosihan setelah Ida meninggal dunia.
Bahkan anggota keluarga Rosihan harus
berkali-kali memperingatkannya untuk tidak terus-menerus tenggelam dalam duka. Life
must go on, begitu selalu disampaikan oleh anak-anaknya kepada Rosihan.
Lalu apa yang mendorong Rosihan
menuliskan memoar ini. Bagi Rosihan menuliskan memoar adalah sebuah permohonan
maaf sekaligus koreksi atas kesalahannya kepada Ida di masa lalu.
Seingat Rosihan, stres, tekanan
pekerjaan, ancaman breidel, hingga situasi politik yang tidak menentu,
kerap membuat dirinya ogah bicara kepada Ida. Ini yang diselali Rosihan.
Tetapi Ida tidak melakukan protes, sebaliknya ia diam dan mengurus pekerjaan
rumah seperti biasa. Itulah ekspresi cinta Ida yang besar terhadap Rosihan.
Buku ini bagaikan sebuah epilog dalam
perjalanan hidup Rosihan. Sebuah epilog tentang cinta dan kesetiaan. Di sini
Rosihan telah menyampaikannya dengan sangat indah
