Baca Notice Blog

Baca Notice Terbaru disini.

Donasi Untuk Blog ini

Berikan Donasi seikhlasnya.

Makalah ZUHUD, KHAUF, RAJA’, HUBB dan FANA’

Makalah ZUHUD, KHAUF, RAJA’, HUBB dan FANA’

Baca Juga

ZUHUD, KHAUF, RAJA’, HUBB dan FANA’
Oleh :
Elidah                                      (133911060)


BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa sebelum timbulnya aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud atau asceticisme timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriah. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke berbagai daerah, dimana orang melihat perbedaaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta sahabat dan para khalifah yang empat yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali karramallahu wajha.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Quran. Hadits adalah perkataan, perbuatan maupun ketepan dari baginda Rasulullah SAW. Adapun isi dari hadits Rasul tersebut bermacam-macam mulai dari tentang shalad, puasa, zakat, aqidah dan banyak lainnya. Yang menjadi pusat perhatian penulis disini adalah dalam ruang lingkup shalad. Shalad disinipun ada berbagai macam, seperti shalad yang wajib maupun yang hukumnya sunnah. Tapi ada yang dinamakan dengan shalad Khauf pada masa peperangan Rasulullah SAW. Tata cara dan hukumnya pun masih menjadi kontrofersi dan para ulama masih memiliki perbedaan pendapat mengenai shalat Khauf ini. Pada makalah ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai shalat Khauf ini, sekaligus untuk menyelesaikan tugas makalah dengan mata kuliah Hadits Ahkam.
2.        Rumusan Masalah
A.    Apakah pengertian dari zuhud ?
B.     Apakah macam-macam zuhud ?
C.     Apakah pengertian dari khauf dan roja’ ?
D.    Apakah pengertian dari hubb dan fana ?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian zuhud.

     Secara  etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu  dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
     Berbicara tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan  dari dua hal: yangpertama  zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua  zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
     Apabila tasawuf  diartikan adanya komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam)  menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.
     Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya dan zuhud sebagai salah satu maqam menuju kesana, dan yang kedua arti dasar ihsan adalah berbuat baik
     Menurut Al-Palibani hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik dari padanya. Karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia “karena mengigikan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakanzuhud.[1]
Pengertian zuhud ini ada tiga macam :
1)      Meninggalkan sesuatu karena mengiginkan sesuatu yang lebih baik daripadanya.
2)      Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
3)      Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintaiNya.[2]
     Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaanya, berbicara menurut keadaanya. Padahal pembicaraan menurut bahasa ilmu, jauh lebih luas dari pada berbicara berdasarka bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.
     Ada beberapa pendapat dari para ulama yaitu dari  Syaikhul-islam ibnu taimiyah berkata, “zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat”. Sedangkan menurut sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan,bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-junaid berkata, “Aku pernah mendengar sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para waliNya, menjaga agar tidak melalaikan hamba-hambaNya yang suci dan menggeluarkanya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya bagi mereka.
     Dia juga berkata, “orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karaena kehilanggan dunia.
     Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut ibnu-jala’,zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut ibnu khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula salah satu riwayat dariNya, bahwa zuhud itu tidak gembira mendapatkan keduniaan dan tidak sedih kehilangan keduniaanya.[3]
Menurut abdulah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan syaqiq dan Yusuf bin Asbath.
     Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara meninggalkan yang haram, ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang ma’rifat.
     Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu  merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat.[4]
zuhud ini ada enam macam yaitu Harta, rupa ,kekuasaan, manusia, nafsu, dan hal-hal selain Allah. Dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam tersebut. Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-hasan,”zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak di timpa musibah sama sekali.
     Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak? Dan menurut Abu hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.
B.     Macam-macam zuhud.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Zuhud itu bermacam-macam, di antaranya :
1. Zuhud terhadap perkara yang haram, dan hukumnya adalah fardhu ‘ain.
2. Zuhud terhadap syubuhat. Hukumnya menurut tingkatan kesyubuhatannya. Jika syubuhatnya kuat, maka hukumnya wajib dan jika syubuhatnya lemah, maka hukumnya mustahab/sunnah.
3. Zuhud dalam hal keutamaan, yaitu zuhud terhadap apa-apa yang tak bermanfaat dari ucapan, pandangan, pertanyaan , pertemuan, ataupun lainnya.
4. Zuhud terhadap manusia.
5. Zuhud terhadap diri sendiri, dengan cara mempermudah dirinya dalam beribadah di jalan Allah.
6. Zuhud terhadap perkara keseluruhan, yaitu zuhud terhadap perkara-perkara selain untuk Allah dan setiap perkara yang menyibukkanmu dari diri-Nya.
Dan zuhud yang paling utama adalah memelihara zuhud itu sendiri… hati yang bergantung pada syahwat maka tidak sah zuhud dan wara’nya.[5]


C.    Pengertian dari khouf dan raja’
a)      Pengertian khouf.
Secara bahasa khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut. Secara istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya.
Khauf (Takut) adalah tempat persinggahan yang amat penting dan paling bermanfaat bagi hati. Ini merupakan keharusan bagi setiap orang. Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 175:
فلا تخافوهم و خافون إن كنتم مؤمنين
“Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran: 175).
b)     Pengertian raja’
Pengertian raja’ secara bahasa, berasal dari bahasa arab, yaitu “rojaun” yang berarti harapan atau berharap. Raja’ adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Secara terminologi, raja’ diartikan sebagai suatu sikap mental optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shaleh.
Imam Qusyairy memberikan pengertian raja’ sebagai keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana halnya khauf berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang.
Raja’ termasuk akhlakul karimah terhadap Allah SWT, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri kapada Allah SWT. Muslim yang mengharapkan ampunan Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu maha Pengampun. Muslim yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, berarti ia meyakini bahwa Allah itu maha Pengasih dan Maha Penyayang.[6]

D.    Pengertian Hubb dan Fana
a)      Pengertian Hubb.
Adalah Cinta (Hubb)
Dalam pandangan tasawuf Mahabbah (cinta) merupakan pijakkan bagi segenap kemulian hal, seperti halnya taubat yang merupakan dasar bagi kemulian Maqom. Karena Mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (Mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.

b)     Pengertian fana

Kata fana’ diambil dari kata faniya-yafna-fana’, secara etimologis berarti hancur, hilang, sirna, lenyap, binasa, dan berakhir (habis) wujudnya. Secara umum ia dapat menunjukkan keadaan yang tidak langgeng, sehingga segala sesuatu yang telah berakhir eksistensinya dikatakan telah mencapai fana’. Orang yang fana ialah orang yang lenyap dari padanya bahagian-bahagian dalam arti tidak punya bahagian sama sekali.
Dalam perspektif ilmu kalam (teologi), fana’dimaksudkan sebagai sifat yang mustahil adanya bagi Allah, sebagai lawan dari baqa’ (sifat wajib) bagi Allah. Segala sesuatu yang eksistensinya hancur atau bakal hancur dinilai tidak sempurna dan akan fana. Semua yang ada di atas permukaan bumi bakal hancur (mengalami kefana’an). Sedangkan al-baqa’ sebagai pecahan dari kata baqiyah-yabqa’-baqa’ berarti al-dawam, terus menerus dan tetap. Sebagai lawan dari fana’, ia berarti tetap ada, ada terus, tidak hilang, tidak hancur, tidak sirna atau tidak lenyap. Menurut Murad Wahbah bahwa fana’ adalah maqam atau tingkat sufi dimana hamba dapat bersatu dengan Tuhannya apabila setelah melalui penghancuran diri. Sedangkan baqa’ adalah hidup kekal yang azali dan selama-lamanya.
Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa segala sesuatu bakal mengalami kebinasaan kecuali Allah, sebagaimana dipahami dari (Q.S. 28 :88) yang berbunyi: كل شيء هالك الا وجهه …Pemahaman terhadap ayat ini melahirkan pendirian bahwa hanya Allah satu-satunya yang bersifat baqa’ (ada selama-lamanya tanpa kesudahan) seperti halnya ia bersifat qidam (ada semenjak azali tanpa permulaan). Sedangkan segenap alam ciptaan-Nya bersifat fana’ tidak baqa’. Ini lebih dipertegas lagi dengan peryataan Allah dalam Q.S. 55 : 26-27 yang mengatakan : كل من عليها فان ويبقي وجه ربك ذوا الجلال والاكرام.









BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
A.    Secara  etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu  dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
B.     Secara bahasa khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut.
C.     Roja’ berarti harapan atau berharap.
D.    Hubb berarti cinta
E.     Fana secara etimologis berarti hancur, hilang, sirna, lenyap, binasa, dan berakhir (habis) wujudnya.



Daftar Pustaka

Al-jauziyah, Ibnu Qayyim. 1998. Madarijus salikin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hamka. Tasawuf modern. Jakarta: pustaka panjimas
Imam Ahmad bin Hambal. Az-Zuhd. dari Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo.
Quzwain, M.Chatib. 1985. mengenal Allah. Jakarta:P.T Bulan Bintang.
Syukur, M. Amin. zuhud di abad modern. Pustaka Pelajar.




[1] Prof.Dr. H.M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) hlm.1
[2] Imam ahmad bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) hlm.28
[3] Ibnu Qayyim Al-jauziyah, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998) ,hlm.147
[4] Ibnu Qayyim Al-jauziyah, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998) ,hlm.147
[5] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf modern, (Jakarta: pustaka panjimas) hlm.121
[6] DR.M.CHATIB QUZWAIN, mengenal Allah, (Jakarta:P.T Bulan Bintang,1985) hlm.87
LAPORKAN MASALAH LINK TIDAK AKTIF

Langganan Artikel